“Gila! Umur 14 tahun dia sudah baca
bukunya Gandhi, Tagore ( Rabindranath Tagore, filsuf India ).
Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa mengejar, puji Nicholas Saputra
tentang Gie. “Saya sering mendapatinya asyik
membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman
yang kini menetap di Australia. Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan
berbeda. Ketika anak - anak sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong
di atap genting rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku
- buku yang dibacanya. Selain
membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari,
ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4
Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir
bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.
BERANI MENGKRITIK
BERANI MENGKRITIK
Di zaman Gie, kampus menjadi ajang
pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung
Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi.
Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang
menjadi lokomotif politik angkatan 66. Gie lebih
banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno
digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika
pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66,
Gie memilih menyepi ke puncak - puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR.
Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil .
TEWAS DI PUNCAK SEMERU
Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil .
TEWAS DI PUNCAK SEMERU
“Saya selalu ingat kematian. Saya
ingin ngobrol - ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan
harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton
Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil,
Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru. Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal
16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas
saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada
di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang - kejang, berteriak dan
mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal. Musibah
kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya
bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba -
tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang
berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie,
Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke
Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan
militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.
Jenasah Gie
semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan
ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya.
Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga
dan teman - temannya, memutuskan menumbuk sisa - sisa tulang belulang Gie. “Serbuknya
kami tebar di antara bunga - bunga Edelweiss di Lembah Mandalawangi di
Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar